"Mungkin karna Korean Wave yang ngebuat gue Fan-Girling itu satu hal yang
ngebuat gue bahagia dan bisa ngebuat gue lupa sama yang namanya kampus, radio."
Sharon Natalia, merupakan seorang mahasiswi di salah satu universitas di
Jakarta. Sudah kurang lebih satu tahun ia bekerja sampingan di sebuah stasiun
radio yang berada di kampusnya. Walaupun bekerja di radio hanya kerjaan
sampingan, namun cukup menyita banyak waktu yang dimiliki perempuan berumur 20
tahun ini. Ia bekerja selama tujuh hari dalam seminggu, yang artinya ia jarang
mendapatkan hari libur. Itu adalah resiko yang harus ia terima ketika ia
memilih untuk bekerja di tempat tersebut, pasalnya, ia bukan hanya sebagai
penyiar, namun juga officer dari stasiun radio kampusnya tersebut. “Sebenernya
dibilang capek, capek banget. Makanya gue kalo jenuh, gue menyempatkan
diri untuk sekedar mampir ke CityWalk”.
Dalam seminggu, ia bisa kurang lebih dua kali pergi dan menghabiskan waktu di
mall tersebut. Karena ia menyadari betapa sempitnya waktu luang yang ia miliki,
maka ia memanfaatkan waktu yang ada untuk sekedar melepas lelah di tempat
terdekat. Sebenarnya ia merasa bosan pergi ke tempat yang sama dengan frekuensi
yang sangat sering, namun ketika ditanya alasannya, Sharon menjawab, “gue ga
punya pilihan. Kalo gue misalnya mau mencari sedikit kesegaran, untuk otak gue,
gue cuma bisa kesitu doang, yang deket dari kampus”. Kegiatan yang dilakukannya
dalam mall itu juga tidak banyak, “kalo CityWalk karna isinya Cuma makanan, gua
Cuma makan aja sih, Cuma kayak paling ke J.Co, beli kopi, diem, sama temen gue
paling curhat-curhat, atau sekedar ngerjain sesuatu”.
Walaupun waktu luang yang ia miliki hanya sedikit, namun ia sangat
menyadari bahwa waktu luang sangat penting, terutama bagi dirinya, ”kalo
menurut gue, pentingsih, karna pasti dengan daily activities lo yang
terus-terusan berulang itu dan sama, kayak kuliah-radio, kuliah-radio,
kuliah-radio, pasti lo capek. Dan lo suatu hari pasti akan ngerasa jenuh dan
butuh rehat sejenak, gitu”. Bahkan, ia tidak segan-segan untuk pergi sendiri ke
mall dekat kampusnya itu hanya untuk sekedar menyegarkan kembali pikirannya
saat itu, “waktu itu gue ngannntukkk banget, dan gue capek, penat, gamau radio,
gue akhirnya ke CityWalk sendirian. Itu bela-belain, panas-panasan, jalan kaki,
bener-bener sendirian, makan donat
gratis sendirian, yaudah minum sendirian”, “tapi itu bener-bener ngebantu gue,
pas gue nyampe kampus, udah ‘hai apakabar!’, udah seneng lagi, gitu sih”. Dari
pernyataannya tersebut, kita bisa mengetahui, betapa dirinya sangat bergantung
pada mall, bagaimana mall bisa memberikan pengaruh dalam perubahan mood bagi
Sharon. Dan ternyata, bukan hanya ketika waktu luang sempit ia pergi ke mall,
namun ketika pada hari libur yang ia miliki, dirinya dan teman-temannya akan
memilih untuk pergi ke mall, seakan-akan dirinya tidak bisa terlepas dari mall.
Tentu saja hal tersebut memberikan keheranan bagi beberapa orang dari
kita, terutama mereka yang jarang menghabiskan waktu luangnya di mall. Setiap
orang pasti memiliki alasannya masing-masing atas keterkaitan dirinya dengan
mall, namun,ketika mencoba menggali lebih dalam mengenai alasan ia memilih mall
dibandingkat tempat wisata lain adalah karena pengaruh teman-temannya,“mungkin
karna lingkungan gue kali ya”. Karena waktu luang yang ia miliki kebanyakan
dihabiskan bersama teman-temannya, maka ia harus mengikuti perilaku dan
keinginan kebanyakan dari temannya, “lingkungan gue tuh lingkungan anak-anak
yang gamau panas, dan gamau ribet gitu, kan kalo misalkan elo, mmm, ke taman,
berarti kan lo harus bener-bener prepare ya, kayak, eee…mungkin sunblock kalo
panas gitu kan, kayak mungkin kacamata hitam. Sedangkan temen-temen gue tuh
lebih suka nongkrongnya ke mall, dimana mungkin mereka bisa ngeliat-liat baju,
atau sekedar mungkin jalan-jalan. Pokoknya tempat banyak cowo kayaknya ya haha”.
Dan hal ini lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan bagi dirinya, dan akhirnya
pergi ke mall menjadi sebuah lifestyle Sharon.
Bila kita perhatikan, alasan dari Sharon mengenai banyak lelaki di mall
itu bisa dibilang kurang masuk diakal, karena seperti yang kita ketahui bahwa
keberadaan lelaki di Indonesia terbilang cukup banyak, baik di jalan ataupun di
tempat-tempat wisata lainnya. Namun, memang kebanyakan status sosial mereka
berbeda, “Kalo di mall kan anaknya tipe-tipe, cowo-cowo, apa ya, sosialita kali
ya? Yang rapih, ganteng, wangi gitu kan”. Ia mengakui, perbedaan ini yang
menjadi masalah baginya. Jangan salah mengira, ia memiliki alasan khusus
mengapa ia mempermasalahkan mengenai perbedaan status sosial tersebut, “Gue tuh
anti ‘abang-abang’ kayaknya. Karna gue kesel aja, maksudnya yang kayak, kalo…
sorry to say ngomong, mungkin pendidikan mereka ga tinggi, jadinya mereka itu
ngomongnya seenak jidat, gitu kan. Cuma gue paling benci kalo dibilang ‘Neng,
neng, neng’ itu gue benci banget, gue yang kayak ‘nama gue bukan eneng jadi
jangan panggil gue neng’”. Pengalaman buruk yang selalu teringat ketika dirinya
berkeinginan pergi ke tempat-tempat wisata, membuat dirinya mengurungkan
niatnya tersebut. Permasalahannya, pakaian yang ia kenakan juga sudah terbilang
tertutup, namun kejadian tersebut tetap tidak bisa dihindarinya. Selain itu, ia
juga menyayangkan karena kebanyakan dari mereka yang memiliki status sosial
yang lebih rendah sulit untuk menjaga kebersihan,terutama kebersihan toilet
umum, seperti pengalamannya di salah satu tempat wisata di bilangan Jakarta
Utara, “disitukan ada WC public kan, dan itu gue harus sharing sama mereka.
Jujur aja, gue agak, sedikit risih, karna kadang-kadang mereka tuh suka
sembarangan. Kayak pipis tiba-tiba kemana-mana.”
Kerisihannya terhadap perilaku kalangan bawah ini bukan hanya terjadi di
tempat wisata saja, namun juga di fasilitas-fasilitas umum, seperti halte
busway. Hal ini sangat disayangkan, padahal bila pemerintah ingin agar
transportasi umum lebih ramai dipergunakan, seharusnya meraka memerhatikan dan
menjaga segi kemanan, kebersihan, dan ketertibannya agar para penumpang dapat
merasa nyaman dan ingin datang dan menggunakan fasilitas tersebut kembali.
Tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Halte busway menjadi
salah satu tempat yang paling tidak disukainya. Kalau bukan karna terpaksa,
sebenarnya ia tidak mau menggunakan bis Trans Jakarta tersebut. Menurut
ceritanya, halte dan jembatan busway sering dijadikan tempat ‘nongkrong’ para
kalangan bawah, terutama laki-laki, dan lagi-lagi menimbulkan
ketidaknyamanannya karena adanya godaan-godaan nakal yang dilakukan oleh
mereka, “seperti yang gue bilang tadi, gue risih sama orang-orang yang macam
alay, abang-abang gitu, dan itu di Busway banyak banget. Bener-bener cuma
nongkrong di halte Busway, ‘Lo ngapain nongkrong disini? Gue mau naik busway,
lo ngapain nongkrong?’, yang cuma nongkrong di jembatan busway’.
Selain pengalaman buruk dan juga tempat yang paling ia tidak sukai, Sharon
juga berbagi mengenai pengalamannya yang tidak pernah terlupakan olehnya. Pengalaman
yang paling bisa membuatnya merasa bahagia dan bisa melupakan semua aktivitas
sehari-hari yang selalu mengganggu pikirannya. Ya, nonton konser K-Pop. Sharon
melupakan pecinta K-Pop, atau bisa disebut juga Fan-Girling, “karna gue ini
anaknya Fan-Girling lah ya, hardcore banget, gue seneng ngelakuin yang namanya
kegiatan Fan-Girl itu”. Tidak hanya sekali atau dua kali ia menonton konser
artis Korea yang datang ke Indonesia. Hampir setiap konser ia datangi, dan
semangatnya menggebu-gebu ketika saat itu tiba, “gue kalo misalkan konser itu
niat banget”, “gue dari pagi, udah stand by sama backpack gue yang isinya tuh
ada makanan, ada minuman, ada Koran, ada jaket, ada…pokoknya apapun yang harus
gue bawa gitu, karna kan panas. Dan itu gue merasa seneng banget. Bener-bener
kayak ‘Gila! Kapan lagi gue kayak gini?’”, ia rela berpanas-panasan,
menghabiskan waktu seharian untuk ngantri masuk konser yang sebenarnya pintu
konser itu sendiri aja belum dibuka, hanya karna terlalu bersemangat ketemu
artis-artis Korea yang ia idam-idamkan itu, “diumur gue yang 20 tahun, yang
kalo ngeliat cowo korea bening dikit yang kayak ‘Oppa! Saranghae!’. Yaa.. kayak
misalkan anggep aja Sehun lewat, kayak udah, ‘apapun yang lo pake kayaknya
perfect!’”. Kesenangannya terhadap artis Korea sungguh diluar bayangan. Dengan kesehariannya
yang penuh, dimana mencari waktu luang saja ia harus mencuri-curi, namun hanya
demi untuk menonton konser K-Pop, iya rela menghabiskan waktu seharian,
meninggalkan segala kegiatan yang seharusnya ia lakukan pada hari itu, “mungkin
karna Korean Wave yang ngebuat gue Fan-Girling itu satu hal yang ngebuat gue
bahagia dan bisa ngebuat gue lupa sama yang namanya kampus, radio.”
Yang membuat semakin menarik adalah, bukan hanya mendengarkan lagunya dan
menikmati konser K-Pop, tapi Sharon juga mempunyai kebiasaan unik yang biasanya
ia lakukan untuk mengisi waktu luangnya ketika ia tidak bisa pergi keluar rumah
karna satu dan lain hal, “nari-nari kali ya”, sedikit melakukan gerak-gerak
bisa menyegarkan pikirannya kembali. Tapi, tariannya adalah tarian girl-band,
girl-band Korea, “balik lagi ke utama ya..saya kan K-Popers ya, mba, ya. Banyak
tuh ya girl band, girl band yang kayak dance nya tuh sebenernya simple, tapi
lucu, dan bikin kita yang kayak, ‘gue pengen coba nih. Dan itu salah satu
kesenangan yang ngebuat gue tuh…makin seger gitu. Selain dengerin lagunya
sendiri, guepun ikut olahraga dong sama gayanya gitu”.
Dari contoh yang dilakukan oleh Sharon Natalia bisa memperlihatkan ke
kita, bagaimana orang-orang bisa menghabiskan waktunya dan menyegarkan pikiran
itu berbeda-beda. Berpikir dan bertindak out of the box juga merupakan salah
satu langkah. Namun, sekali lagi, setiap orang berbeda-beda. Ketika kita sudah
bisa menemukan satu hal atau satu kegiatan yang bisa menghibur kita, maka hidup
kita akan lebih mudah dibanding sebelumnya.