Monday 29 September 2014


NAMA           : SURAHMAN
UMUR            : 45 TAHUN
STATUS         : BERKELUARGA
            DOMISILI      : JAKARTA SELATAN
PEKERJAAN : TEKNISI

“kalo ada dana, paling kita ke pantai, gitu”
 “ya tergantung keuangan sih ya, kalo kita ada uang, siapa sih yang gamau pergi ke tempat yang lebih baik?”




      
   

            Surahman biasa ia dipanggil, merupakan seorang teknisi di suatu apartment di bilangan Jakarta Selatan. Ia sudah menjalani pekerjaan tersebut cukup lama, gaji yang ia terima juga tidak bisa terbilang banyak  untuk menghidupi dirinya, istri, dan kedua anaknya. Untuk kehidupan sehari-harinya saja, ia masih membutuhkan banyak biaya, seperti biaya makan, biaya sekolah anaknya, dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi penyebab mengapa ia lebih sering menghabiskan waktu luangnya di rumah. Baik ketika sepulang bekerja ataupun pada hari Minggu dimana merupakan hari liburnya. Bukannya tidak mau, namun kondisi keuangannya yang tidak memberikannya banyak pilihan, ia harus memikirkan ‘hari esok’ untuk melanjutkan hidup bagi dirinya serta keluarga, “kalo untuk keluarga, kita mikir buat besoknya. Maksudnya besoknya nih, keseharian kita. Jadi kita mengukur”.

Walaupun begitu, tentu saja seperti hal-nya orang lain, ia sesekali akan pergi keluar rumah untuk menyegarkan pikirannya, meskipun tujuan perginya bukan seperti kalangan menengah ke atas yang lebih sering ke kafe atau mall, “Jakarta kan banyak tempat-tempat wisata, kita kan milih yang termurah, tergantung budget kita”, taman contohnya, bila budget minimal, ia akan berkunjung ke taman dimana tidak membutuhkan banyak biaya untuk dikeluarkan, “kadang-kadang ke taman, paling Monas. Monas kan lebih luas ya, dan wawasannya kita banyak disitu, hiburan juga ada. Selain hiburan kan juga ada air mancur, trus ya…ya kita bercerita-cerita aja ama keluarga gitu, ama istri”. Bahkan, tidak jarang ia hanya pergi berkunjung ke rumah teman ataupun saudara. Sudah tentu, tujuannya untuk mengajak jalan-jalan istrinya keluar rumah, namun juga sekalian bersilaturahmi bersama teman serta saudara, “biasanya kita silaturahmi keluarga aja, saudara, ataukah adik, ataukah paman, ataukah..ya macem-macem lah namanya saudara, atau teman, kita silaturahmi”. Lagipula, uang yang dikeluarkan tidaklah banyak, hanya sekedar uang bensin motor miliknya.

Bagi pria berumur 45 tahun ini, menghibur diri sendiri dan melepaskan kepenatan tidak harus keluar rumah, berjalan-jalan, serta menghabiskan uang. Istirahat dengan bersantai di rumah miliknya yang sederhana sudahlah cukup. Permasalahannya, pekerjaan yang ia lakukan hampir setiap hari itu sudah terbilang menguras tenaganya yang sudah pasti tidak sebanyak ketika ia masih muda dahulu, “kita kan bidang kita teknik, tenaga kerja kita dipake orang juga, jadi ga setiap waktu kita mau liburan, gitu”. Yang ia lakukan kebanyakan hanya berbincang-bincang dan istirahat di rumah bersama istrinya. Sesekali ia juga senang untuk bermain game sepak bola di Play Station 2 yang ia miliki, walaupun ia mengakui bahwa hal itu sudah jarang dikarenakan kesibukan anaknya terhadap sekolah dan teman-temannya. 

                Namun, setelah perbincangan lebih lanjut, Surahman mengakui bahwa bila ia bisa memilih dan memiliki dana lebih, ia akan pergi ke pantai setiap kali ingin melepas penat di pikirannya, “kalo ada dana, paling kita ke pantai, gitu”. Baginya, pantai bukan hanya memberi ketenangan dari pemandangan dan hembusan angina yang dimiliki oleh pantai, tetapi juga ia bisa melakukan aktivitas lain di dalamnya, “kalo ke pantai itu tujuannya : satu, mengeksplor apa yang di laut, apa yang pengen kita tau, kondisi lautnya kayak apa, trus ya kepenatan lain, ya itu mancing, jadi ya menghilangkan stress kita dalam kegiatan kita sehari-hari”. Pada saat ia sempat pergi ke pantai di bilangan Jakarta Utara, ia merasakan pengalaman yang menyenangkan, “kalo lagi represing kita, nyari yang selain menghibur liat suasana luasnya pantai, itu kan ada hiburan, jadi kita liat live music, kayak band, atau ga dangdut”, “kita menikmati music itu, ama penyanyi, ama penonton kan terhibur”. Mungkin bagi kebanyakan dari kita, itu adalah hal yang biasa, namun bagi Surahman yang jarang pergi dan mendapatkan hiburan semacam itu, hal tersebut memberikan kesan tersendiri yang akhirnya membuat dirinya ‘ketagihan’ datang ke pantai untuk refreshing.

                Ternyata, baik di kalangan status sosial manapun, semua sangat menyayangkan kuragnya kebersihan pada tempat-tempat hiburan di Indonesia, terutama di Jakarta. Dengan tidak tertibnya keadaan di tempat wisata itu sendiri, bisa membuat orang-orang untuk malas datang berkunjung ke tempat tersebut. Begitupun pendapat Surahman, ia merasa selama ini para pedagang yang berjualan kurang di fasilitasi tempat-tempat berjualan yang tertata rapi dari pihak tempat wisata seperti taman. Di tambah lagi, para pedagang tersebut juga sulit menjaga kebersihan yang pada akhirnya malah merusak pemandangan indah yang seharusnya dimiliki di sana, “ga senengnya kadang-kadang itu, pedagangnya itu kadang-kadang teledor sama kebersihannya doang”, dan hal tersebut membuat pengunjung, termasuk dirinya, kapok untuk datang lagi kesana, “kondisinya gimana ya, jadinya ga teratur gitu, kita gasuka. Kadang ga pengen kesitu lagi gituloh. Jorok!”

                Selain masalah kebersihan,sebenarnya ia mendambakan bukan hanya sekedar taman yang ‘murah-meriah’ yang terus-terusan dibuka oleh pemerintah maupun pihak swasta untuk menghibur para orang yang kurang mampu, namun juga adanya pantai umum yang untuk masuk dan menikmati nya tidak perlu mengeluarkan biaya yang terlalu mahal, “pengen sih kayak pantai-pantai di Utara itu kan banyak. Dibuat sesuatu yang ga memberatkan masyarakat keuangannya aja dah. Seperti misalnya Ancol gitu”, “jadi kita fresh gitu,’oh kita kesini…bukannya tanpa bayaran, tapi murah bayaran’. Sehingga menghibur, jadi kita puas gitu, meskipun jauh-jauh.”







  NAMA      : SHARON NATALIA
  UMUR      : 20 TAHUN
  DOMISILI : JAKARTA PUSAT
  PEKERJAAN : MAHASISWI &      OFFICER+PENYIAR RADIO





"Mungkin karna Korean Wave yang ngebuat gue Fan-Girling itu satu hal yang ngebuat gue bahagia dan bisa ngebuat gue lupa sama yang namanya kampus, radio."


Sharon Natalia, merupakan seorang mahasiswi di salah satu universitas di Jakarta. Sudah kurang lebih satu tahun ia bekerja sampingan di sebuah stasiun radio yang berada di kampusnya. Walaupun bekerja di radio hanya kerjaan sampingan, namun cukup menyita banyak waktu yang dimiliki perempuan berumur 20 tahun ini. Ia bekerja selama tujuh hari dalam seminggu, yang artinya ia jarang mendapatkan hari libur. Itu adalah resiko yang harus ia terima ketika ia memilih untuk bekerja di tempat tersebut, pasalnya, ia bukan hanya sebagai penyiar, namun juga officer dari stasiun radio kampusnya tersebut. “Sebenernya dibilang capek, capek banget. Makanya gue kalo jenuh, gue menyempatkan diri  untuk sekedar mampir ke CityWalk”. Dalam seminggu, ia bisa kurang lebih dua kali pergi dan menghabiskan waktu di mall tersebut. Karena ia menyadari betapa sempitnya waktu luang yang ia miliki, maka ia memanfaatkan waktu yang ada untuk sekedar melepas lelah di tempat terdekat. Sebenarnya ia merasa bosan pergi ke tempat yang sama dengan frekuensi yang sangat sering, namun ketika ditanya alasannya, Sharon menjawab, “gue ga punya pilihan. Kalo gue misalnya mau mencari sedikit kesegaran, untuk otak gue, gue cuma bisa kesitu doang, yang deket dari kampus”. Kegiatan yang dilakukannya dalam mall itu juga tidak banyak, “kalo CityWalk karna isinya Cuma makanan, gua Cuma makan aja sih, Cuma kayak paling ke J.Co, beli kopi, diem, sama temen gue paling curhat-curhat, atau sekedar ngerjain sesuatu”. 

Walaupun waktu luang yang ia miliki hanya sedikit, namun ia sangat menyadari bahwa waktu luang sangat penting, terutama bagi dirinya, ”kalo menurut gue, pentingsih, karna pasti dengan daily activities lo yang terus-terusan berulang itu dan sama, kayak kuliah-radio, kuliah-radio, kuliah-radio, pasti lo capek. Dan lo suatu hari pasti akan ngerasa jenuh dan butuh rehat sejenak, gitu”. Bahkan, ia tidak segan-segan untuk pergi sendiri ke mall dekat kampusnya itu hanya untuk sekedar menyegarkan kembali pikirannya saat itu, “waktu itu gue ngannntukkk banget, dan gue capek, penat, gamau radio, gue akhirnya ke CityWalk sendirian. Itu bela-belain, panas-panasan, jalan kaki, bener-bener sendirian,  makan donat gratis sendirian, yaudah minum sendirian”, “tapi itu bener-bener ngebantu gue, pas gue nyampe kampus, udah ‘hai apakabar!’, udah seneng lagi, gitu sih”. Dari pernyataannya tersebut, kita bisa mengetahui, betapa dirinya sangat bergantung pada mall, bagaimana mall bisa memberikan pengaruh dalam perubahan mood bagi Sharon. Dan ternyata, bukan hanya ketika waktu luang sempit ia pergi ke mall, namun ketika pada hari libur yang ia miliki, dirinya dan teman-temannya akan memilih untuk pergi ke mall, seakan-akan dirinya tidak bisa terlepas dari mall.

Tentu saja hal tersebut memberikan keheranan bagi beberapa orang dari kita, terutama mereka yang jarang menghabiskan waktu luangnya di mall. Setiap orang pasti memiliki alasannya masing-masing atas keterkaitan dirinya dengan mall, namun,ketika mencoba menggali lebih dalam mengenai alasan ia memilih mall dibandingkat tempat wisata lain adalah karena pengaruh teman-temannya,“mungkin karna lingkungan gue kali ya”. Karena waktu luang yang ia miliki kebanyakan dihabiskan bersama teman-temannya, maka ia harus mengikuti perilaku dan keinginan kebanyakan dari temannya, “lingkungan gue tuh lingkungan anak-anak yang gamau panas, dan gamau ribet gitu, kan kalo misalkan elo, mmm, ke taman, berarti kan lo harus bener-bener prepare ya, kayak, eee…mungkin sunblock kalo panas gitu kan, kayak mungkin kacamata hitam. Sedangkan temen-temen gue tuh lebih suka nongkrongnya ke mall, dimana mungkin mereka bisa ngeliat-liat baju, atau sekedar mungkin jalan-jalan. Pokoknya tempat banyak cowo kayaknya ya haha”. Dan hal ini lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan bagi dirinya, dan akhirnya pergi ke mall menjadi sebuah lifestyle Sharon.

Bila kita perhatikan, alasan dari Sharon mengenai banyak lelaki di mall itu bisa dibilang kurang masuk diakal, karena seperti yang kita ketahui bahwa keberadaan lelaki di Indonesia terbilang cukup banyak, baik di jalan ataupun di tempat-tempat wisata lainnya. Namun, memang kebanyakan status sosial mereka berbeda, “Kalo di mall kan anaknya tipe-tipe, cowo-cowo, apa ya, sosialita kali ya? Yang rapih, ganteng, wangi gitu kan”. Ia mengakui, perbedaan ini yang menjadi masalah baginya. Jangan salah mengira, ia memiliki alasan khusus mengapa ia mempermasalahkan mengenai perbedaan status sosial tersebut, “Gue tuh anti ‘abang-abang’ kayaknya. Karna gue kesel aja, maksudnya yang kayak, kalo… sorry to say ngomong, mungkin pendidikan mereka ga tinggi, jadinya mereka itu ngomongnya seenak jidat, gitu kan. Cuma gue paling benci kalo dibilang ‘Neng, neng, neng’ itu gue benci banget, gue yang kayak ‘nama gue bukan eneng jadi jangan panggil gue neng’”. Pengalaman buruk yang selalu teringat ketika dirinya berkeinginan pergi ke tempat-tempat wisata, membuat dirinya mengurungkan niatnya tersebut. Permasalahannya, pakaian yang ia kenakan juga sudah terbilang tertutup, namun kejadian tersebut tetap tidak bisa dihindarinya. Selain itu, ia juga menyayangkan karena kebanyakan dari mereka yang memiliki status sosial yang lebih rendah sulit untuk menjaga kebersihan,terutama kebersihan toilet umum, seperti pengalamannya di salah satu tempat wisata di bilangan Jakarta Utara, “disitukan ada WC public kan, dan itu gue harus sharing sama mereka. Jujur aja, gue agak, sedikit risih, karna kadang-kadang mereka tuh suka sembarangan. Kayak pipis tiba-tiba kemana-mana.”

Kerisihannya terhadap perilaku kalangan bawah ini bukan hanya terjadi di tempat wisata saja, namun juga di fasilitas-fasilitas umum, seperti halte busway. Hal ini sangat disayangkan, padahal bila pemerintah ingin agar transportasi umum lebih ramai dipergunakan, seharusnya meraka memerhatikan dan menjaga segi kemanan, kebersihan, dan ketertibannya agar para penumpang dapat merasa nyaman dan ingin datang dan menggunakan fasilitas tersebut kembali. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Halte busway menjadi salah satu tempat yang paling tidak disukainya. Kalau bukan karna terpaksa, sebenarnya ia tidak mau menggunakan bis Trans Jakarta tersebut. Menurut ceritanya, halte dan jembatan busway sering dijadikan tempat ‘nongkrong’ para kalangan bawah, terutama laki-laki, dan lagi-lagi menimbulkan ketidaknyamanannya karena adanya godaan-godaan nakal yang dilakukan oleh mereka, “seperti yang gue bilang tadi, gue risih sama orang-orang yang macam alay, abang-abang gitu, dan itu di Busway banyak banget. Bener-bener cuma nongkrong di halte Busway, ‘Lo ngapain nongkrong disini? Gue mau naik busway, lo ngapain nongkrong?’, yang cuma nongkrong di jembatan busway’.

Selain pengalaman buruk dan juga tempat yang paling ia tidak sukai, Sharon juga berbagi mengenai pengalamannya yang tidak pernah terlupakan olehnya. Pengalaman yang paling bisa membuatnya merasa bahagia dan bisa melupakan semua aktivitas sehari-hari yang selalu mengganggu pikirannya. Ya, nonton konser K-Pop. Sharon melupakan pecinta K-Pop, atau bisa disebut juga Fan-Girling, “karna gue ini anaknya Fan-Girling lah ya, hardcore banget, gue seneng ngelakuin yang namanya kegiatan Fan-Girl itu”. Tidak hanya sekali atau dua kali ia menonton konser artis Korea yang datang ke Indonesia. Hampir setiap konser ia datangi, dan semangatnya menggebu-gebu ketika saat itu tiba, “gue kalo misalkan konser itu niat banget”, “gue dari pagi, udah stand by sama backpack gue yang isinya tuh ada makanan, ada minuman, ada Koran, ada jaket, ada…pokoknya apapun yang harus gue bawa gitu, karna kan panas. Dan itu gue merasa seneng banget. Bener-bener kayak ‘Gila! Kapan lagi gue kayak gini?’”, ia rela berpanas-panasan, menghabiskan waktu seharian untuk ngantri masuk konser yang sebenarnya pintu konser itu sendiri aja belum dibuka, hanya karna terlalu bersemangat ketemu artis-artis Korea yang ia idam-idamkan itu, “diumur gue yang 20 tahun, yang kalo ngeliat cowo korea bening dikit yang kayak ‘Oppa! Saranghae!’. Yaa.. kayak misalkan anggep aja Sehun lewat, kayak udah, ‘apapun yang lo pake kayaknya perfect!’”. Kesenangannya terhadap artis Korea sungguh diluar bayangan. Dengan kesehariannya yang penuh, dimana mencari waktu luang saja ia harus mencuri-curi, namun hanya demi untuk menonton konser K-Pop, iya rela menghabiskan waktu seharian, meninggalkan segala kegiatan yang seharusnya ia lakukan pada hari itu, “mungkin karna Korean Wave yang ngebuat gue Fan-Girling itu satu hal yang ngebuat gue bahagia dan bisa ngebuat gue lupa sama yang namanya kampus, radio.”

Yang membuat semakin menarik adalah, bukan hanya mendengarkan lagunya dan menikmati konser K-Pop, tapi Sharon juga mempunyai kebiasaan unik yang biasanya ia lakukan untuk mengisi waktu luangnya ketika ia tidak bisa pergi keluar rumah karna satu dan lain hal, “nari-nari kali ya”, sedikit melakukan gerak-gerak bisa menyegarkan pikirannya kembali. Tapi, tariannya adalah tarian girl-band, girl-band Korea, “balik lagi ke utama ya..saya kan K-Popers ya, mba, ya. Banyak tuh ya girl band, girl band yang kayak dance nya tuh sebenernya simple, tapi lucu, dan bikin kita yang kayak, ‘gue pengen coba nih. Dan itu salah satu kesenangan yang ngebuat gue tuh…makin seger gitu. Selain dengerin lagunya sendiri, guepun ikut olahraga dong sama gayanya gitu”.

Dari contoh yang dilakukan oleh Sharon Natalia bisa memperlihatkan ke kita, bagaimana orang-orang bisa menghabiskan waktunya dan menyegarkan pikiran itu berbeda-beda. Berpikir dan bertindak out of the box juga merupakan salah satu langkah. Namun, sekali lagi, setiap orang berbeda-beda. Ketika kita sudah bisa menemukan satu hal atau satu kegiatan yang bisa menghibur kita, maka hidup kita akan lebih mudah dibanding sebelumnya.


Friday 26 September 2014



                NAMA      : STEPHANY
UMUR      : 49 TAHUN
STATUS   : MENIKAH
PEKERJAAN : IBU RUMAH TANGGA
DOMISILI     : JAKARTA UTARA

“Aku sekeluarga, yang selalu kemanapun pergi, mau di mall manapun, yang di cari ada toko buku.”


    
           
             Kali ini saya mencoba mencari tahu mengenai sifat dan perilaku dari seorang ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di daerah Sunter, Jakarta Utara. Stefany namanya. Wanita berumur empat puluh Sembilan tahun ini terbilang berbeda bila kita bandingkan dengan kebanyakan orang Jakarta jaman sekarang. Ia lebih suka untuk menghabiskan waktu luang yang ia miliki di rumahnya. Alasannya tentu saja bukan permasalahan financial, keluarganya terbilang keluarga yang mampu. Namun, seperti yang kita juga sadari, cara orang menghabiskan waktu tentu saja berbeda dan perbedaan itu bermula dari dalam diri sendiri.

Baginya, BBM, mendengarkan radio, dan nonton TV sudah cukup untuk mengisi waktu luang yang ia anggap hal penting, dan semuanya dapat ia lakukan di dalam rumahnya. Menurutnya, waktu luang sangat diperlukan oleh setiap manusia, “Ya itu, satu, kita bekerja, kita perlu istirahat. Bukan tubuh kita aja, tapi otak kita. Kalo kita kerja teruuussss, pasti kita bosen, kita jenuh”. Walaupun caranya menghabiskan waktu luang singkatnya adalah ber-BBM-an dengan teman-temannya, namun ia pun juga menyadari adanya dampak negative bila orang ‘kecanduan’ BBM, “BBM, ya, itu bisa jadi menghibur bisa jd menyesatkan, kalo bagi aku menghibur. Karna kita misalnya kerja bosen-bosen gitu, chatting sepatah dua patah kata sama temen itu sebuah hiburan. Tapi kita gaboleh trus lupa kita chatting terus kerjan kita terhenti”.

Sebenarnya, bila dibandingkan dengan menonton TV ataupun mendengarkan radio, wanita yang lahir di Madiun ini lebih senang menyalurkan hobinya, yaitu membaca. Bacaan yang ia baca untuk mengisi waktu luang tidaklah terbatas pada bacaan atau genre tertentu. Bisa majalah, Koran, ataupun novel. Novel yang dibacanya-pun berbeda-beda genrenya. Namun diantara semua genre yang sudah ia baca, genre yang paling ia senangi adalah novel dengan cerita detektif. “Otakku kepake”, “kan kita tertantang baca seperti itu, siapa sih pembunuhnya? Yakan. Misalnya kita udah punya pembunuhan, kan kalo cerita detektif yang bagus ga bakal ketauan sampe akhir cerita kan, kenapa dia membunuh? Aku suka mikir,jadi..bener ga sih yang aku pikirkan? Istiralahnya begitu”. Stefany merasa, dengan membaca buku, ia bisa ‘masuk’ ke dalam alur cerita dari buku tersebut. Buku membuatnya dapat berimajinasi secara ‘liar’, “kita membaca, kita bisa membayangkan. Kita bisa memfisualisasikan.”. Buku seakan-akan sudah menjadi bagian dari hidup wanita dengan panggilan Suk Lan ini. Ditambah lagi, hobi membacanya itu ia tularkan kepada suami dan anak-anaknya. Bacaan tidaklah harus bacaan yang berat, baginya, dengan membaca apapun, maka pengetahuan akan bertambah. Memang hingga detik ini sudah banyak yang mengatakan mengenai manfaat baik dari membaca, namun, tidak hanya percaya dari kata-kata orang lain, Stefany merasakan sendiri manfaat baik dari membaca, “kalo dikeluargaku, jadi seumpamanya kita berempat nih ngumpul, kita bisa bahas topik apa saja, mau politik, sosial budaya, psikologi, mau tentang sekolah anak-anak, ilmu pengetahuan. Ya mungkin kita lupa-lupa, tapi ga pernah ada namanya kosong gitu”.

Kesenangan dirinya serta keluarganya dalam membaca buku memberikan pengaruh yang sangat besar. Misalnya saja ketika mereka berpergian, setiap ke mall, entah itu mall apa saja, yang dicarinya adalah toko buku, “Aku sekeluarga, yang selalu kemanapun pergi, mau di mall manapun, yang di cari ada toko buku.”, “Ke Gading ya Periplus, ke Gramedia. Seumpamanya-pun aku ke Grand Indonesia, ya Gramedia lagi, ya Kinokuniya lagi, ya Periplus, yaudah. Mau ke Central Park kesitu lagi”. Baginya serta keluarga, belanja baju, accessories, dan sebagainya hanyalah sebatas kebutuhan yang mendesak. Bila dirinya menganggap bahwa pada saat itu tidak membutuhkan pakaian dan sebagainya, walaupun ada yang menarik, maka ia lebih memilih untuk tidak membelinya. Yang uniknya, kebiasaannya dalam membeli buku atau sekedar mampir untuk melihat-lihat di toko buku, sama seperti kebiasaan kebanyakan wanita dalam berbelanja atau melihat-lihat pakaian di mall. Uang yang ia miliki, lebih senang dikeluarkannya untuk membeli banyak buku ketimbang membeli banyak pakaian atau accessories dan sebagainya, “kita tuh soalnya baju, ya kebutuhan, jadi kalo misalnya butuh, ya kita beli. Kalo ngga ya ngga. Tapi kalo buku, selalu kepengen mampir”.

Setiap minggu keluarga Stefany pergi keluar rumah, namun biasanya mereka hanya pergi bersama keluarga, diantara anggota keluarganya, tidak ada yang menjadikan jalan-jalan sebagai pilihan utama untuk melepaskan penat di dalam pikiran. Mereka pergi, karena merasa butuh untuk pergi. Tujuan mereka tiap minggu hampir selalu ke mall, karena di mall Stefany dapat berbelanja kebutuhan rumah tangga (dimana adalah tujuan utama mereka pergi), selain itu bisa sekalian pergi makan bersama. Tidak banyak yang dilakukan Stefany dan keluarga di dalam mall. Mungkin hal inilah salah satu penyebab dirinya dan keluarga selalu mendatangi mall yang sama hampir setiap minggunya,” Aku kan di Sunter, terdekat ke Kelapa Gading, yaudah.”, “intinya semua mall kan sama, hampir semua mall yang kelas menengah isinya sama, apa bedanya? Ga ada. Ngapain kita capek-capek buang waktu kesana”. Selain itu ibu dari seorang pianis ini tidak begitu menyukai tempat makan yang harga makanannya terbilang tidak sebanding dengan rasa makanan yang disajikan itu sendiri, dimana di daerah Jakarta, sekarang marak tempat-tempat seperti itu, istilahnya menjuak suasana. Baginya, ia pergi ke suatu tempat makan dengan tujuan utama : Makan. Jadi yang ia harapkan adalah makanan yang enak dan tempat yang bersih.

Walaupun dirinya mengaku tidak menyukai berjalan-jalan ke tempat yang baru baginya dan terlalu jauh, namun bukan berarti dirinya tidak pernah pergi berjalan-jalan ke tempat yang jauh dari daerah rumahnya. Bila pergi bersama teman, ia rela untuk pergi ke tempat yang jauh seperti Jakarta Selatan, maupun BSD. Ketika ditanya alasannya, ”Intinya kumpul teman baik, itu lebih penting. Jadi kemananya ga penting”. Bila teman-temannya sepakat untuk pergi ke suatu tempat, maka dirinya akan mengikuti kesepakatan dari mayoritas.

Sejujurnya, Stefany menyukai tempat-tempat yang ‘berbau’ alam. Dirinya sangat menghargai hasil karya dari Sang Mahakuasa. Baginya, alam tidak akan pernah bisa terkalahkan oleh bangunan-bangunan modern yang dewasa ini tumbuh banyak dimana-mana, “Aku ga tertarik liat sebuah mall yang bagus, itu buatan manusia, biasa aja buat aku. Itu orang pinter, gitu tok. Tapi ketika aku liat bulan purnama, dari pertamanya seperti ini, sampe nanti perubahan-perubahan, itu buat aku tuh WAW!”. Yang di sayangkan olehnya, yang terjadi kebanyakan di Indonesia, terutama daerah Jakarta adalah para pengusaha berusaha untuk menutup lahan-lahan kosong, dan membangun bangunan-bangunan tinggi nan modern, dimana bangunan tersebut malah menutupi keindahan alam yang ada.


Pernyataan Stefany itu mendasarinya mengharapkan adanya banyak tumbuh tempat-tempat outdoor di Jakarta, terutama di daerah dekat rumahnya, bukan hanya mall lagi mall lagi. Baik tempat outdoor seperti kumpulan tempat makan yang memiliki ruang terbuka, ataupun taman-taman. Ia memang mengakui bahwa kerja Gubernur Jakarta sekarang sudah cukup baik dengan mengembangkan taman-taman, namun sayangnya, ia merasa taman-taman yang dibuka masih terlalu jauh dari daerah rumahnya, “kan kalo jauh males, satu, ngapain ke taman jauh-jauh. Trus masalahnya juga ga ada waktu.”. Selain itu ia juga mengharapkan tempat-tempat di Indonesia dapat lebih terjaga kebersihan dan konsistensinya, karena hal itulah yang belum terlalu dirasakannya selama ini, “Tempatnya bagus banget gitu, enak. Tapi toiletnya aja yang layak tuh ga ada. Nah hal-hal seperti itu tuh yang disini susah, makanya males. Mau pergi kita udah jauh-jauh ke Cibodas, kita mikir, ke toilet aja susah, kalo perempuan apalagi kan, gituloh. Itu kadang-kadang yang suka buat males, udah macet, disitunya kok seperti ini. Jadi gabisa enjoy.”




Monday 22 September 2014





NAMA      : NATASHA ROSANIE                                                                CANDARASJMI HARAHAP
UMUR      : 20 TAHUN
STATUS   : BELUM MENIKAH
PEKERJAAN : MAHASISWI
DOMISILI     : JAKARTA SELATAN


“kalo misalnya lagi gabut banget, atau lagi sendirian, lagi gatau mau ngapain, pasti gue bakal mikirnya untuk liat-liat barang-barang gitu, kan kalo cewe kan kalo belanja nenangin diri ya”






                Berbeda dengan dua informan sebelumnya, kali ini informan berjenis kelamin perempuan. Natasha Rosanie Candarasjmi Harahap, merupakan seorang mahasiswi tingkat dua yang juga sudah mulai mendapatkan uang melalui usahanya sendiri. Hobi yang ia miliki, menyanyi, sudah bisa ia salurkan untuk sesuatu yang lebih serius. Ia mengaku bahwa uang yang diterimanya bisa menjadi uang jajan tambahan baginya dan ia memulai untuk tidak terlalu bergantung kepada keluarganya untuk kebutuhan ‘jajan’-nya sendiri. Memang bisa dibilang pekerjaan yang ia jalani sementara ini belum terlalu mengambil banyak waktu luangnya, namun, tidak jarang waktu weekend miliknya harus ia korbankan untuk bekerja.

Ketika pekerjaan maupun kegiatan kampus tidak mengganggunya, ia lebih memilih untuk tidak menghabiskan waktu luang yang ia miliki itu di dalam rumah, rasa bosan sering menyerangnya, “sering banget, gue gatahan kalo dirumah”. Hal ini yang membuatnya terkadang rela untuk pergi ke tempat yang jauh dari rumah tinggalnya, “ya kalo dipikir-pikir sih daripada bosen dirumah mendingan pergi sama temen sih”.

 Tempat yang ia pilih untuk mengisi waktu luangnya berbeda-beda , “beda-beda sih, macem-macem, tergantung, bisa ke mall-mall, atau kerumah temen, biasanya sih gitu, makan-makan aja.” Walaupun banyak tempat yang ia datangi, namun salah satu mall di daerah Jakarta Selatan merupakan tempat yang paling sering ia kunjungi, “seminggu sih bisa dua kali atau lebih”,  ketika ditanya alasannya, jawaban Natasha karena orangtuanya sering ‘nongkrong’ di mall tersebut, selain itu ia merasa ia bisa mendapatkan semuanya di mall, “semuanya ada kan di mall, makanya kesana”. Nonton, makan, tempat nongkrong, tempat belanja, semuanya tersedia di dalam satu mall, tidak perlu repot-repot mengunjungi banyak tempat untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Dalam sekali berkunjung ke mall, ia bisa menghabiskan waktu lebih dari enam jam disana. Mall bisa dibilang sudah sebagai rumah kedua baginya.

Meskipun mall merupakan tempat yang paling sering ia kunjungi, namun perempuan yang lebih akrab dipanggil Udu ini merasakan keburukkan yang didapatkan ketika ia berada terlalu sering dan terlalu lama di dalam mall, terutama bila ia pergi ke mall sendirian, “nah itu dia keburukannya, kalo di mall pasti terpancing untuk belanja, gabut dikit pastikan liat barang-barang, banyak toko-toko, banyak jual baju-baju, pasti terpancing untuk beli”. Tidak jarang ia menghabiskan waktunya di mall untuk berbelanja, setidaknya seminggu sekali ia bisa mengeluarkan uangnya untuk berbelanja karena seringnya ia ke mall. Seperti kebanyakan wanita, Natasha-pun merasakan ketenangan serta kesenangan tersediri bila melihat-lihat dan berbelanja produk yang ia sukai, “kalo misalnya lagi gabut banget, atau lagi sendirian, lagi gatau mau ngapain, pasti gue bakal mikirnya untuk liat-liat barang-barang gitu, kan kalo cewe kan kalo belanja nenangin diri ya”. Dari perkataannya tersebut, entah ia sadar ataupun tidak, kita bisa mengetahui bahwa baginya, melepaskan stress atau menyegarkan pikiran tidak hanya mengenai pergi ke suatu tempat yang memiliki pemandangan indah atau sekedar ngobrol-ngobrol dengan teman, berbelanja-pun merupakan satu hal yang sudah melekat dalam dirinya untuk memberikan kesenangan.

Selain mall, Natasha juga senang menghabiskan waktunya di tempat-tempat nongkrong, seperti kafe yang banyak berada di daerah Jakarta, “biasanya sih ya ngopi-ngopi aja sih, di daerah…seringnya sih daerah Panglima Polim”. Walaupun daerah tersebut tidak terlalu jauh dari daerah tempat tinggalnya dan merupakan tempat favorit-nya untuk menghabiskan waktu luang bersama teman maupun pacarnya, namun, ia mengaku bahwa yang terpenting baginya bukanlah dimana ia berada, tetapi dengan siapa ia berada. Hal ini terbukti dengan pernyataan yang ungkapkannya ketika sesi wawancara, “siapa aja nih orang-orangnya yang ikut pas pergi-pergi ini, kalo orang-orangnya fun, rame, seru,ya gue sih ga masalah tempatnya kayak gimana”. Menghabiskan waktu di outdoor/indoor, tempat yang panas/ber-AC, jauh/dekat, gratis ataupun berbayar, bukanlah sebuah masalah baginya, “kalo masalah gratis atau bayar sih ga masalah, asal kalo misalnya bayarpun harganya terjangkau, gitu. Sebenernya balik lagi ke orang-orangnya siapa aja sih”.

Bagi Natasha, menghabiskan waktu luang dapat dengan berbagai cara. Ditambah lagi, ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan ‘Lifestyle’ yang ia jalani. Terkadang, bagi kita yang masih menggantungkan seluruh kebutuhan uang kepada orang tua, kita masih memikirkan mengenai pengeluaran yang kita keluarkan untuk mengisi waktu luang. Dari sini, kita bisa melihat perbedaan perilaku orang dalam menghabiskan waktu luang bukan hanya dari sekedar status sosial ataupun usianya, namun juga dari seberapa orang tersebut sudah merasa independent dalam mendapatkan uang yang akan ia keluarkan pada waktu luang itu sendiri. 




Sunday 21 September 2014



NAMA      : KEVIN PRAMANA
UMUR      : 22 TAHUN
STATUS   : BELUM MENIKAH
PEKERJAAN : MAHASISWA
DOMISILI     : JAKARTA TIMUR

“lebih milih olahraga sih, soalnya ga ngabisin duit”
“sehat, trus juga cepet ngabisin waktunya, ga kerasa”







            Dalam mengisi waktu luangnya ketika sepulang kuliah, Kevin, mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta Selatan, mengaku sering menghabiskan waktunya ke tempat-tempat umum seperti mall ataupun kafe di sekitar kampusnya, tujuannya adalah mencari suasana menyenangkan sambil berbincang-bincang dengan teman-temannya serta menunggu jam macat Jakarta yang biasanya berbarengan dengan jam pulang kuliahnya.

Seperti halnya banyak anak muda di Jakarta, Kevin yang masih berumur 22 tahun ini lebih suka pergi ke tempat-tempat makan atau bisa dibilang tempat-tempat yang modern, bila dibandingkan pergi ke tempat wisata lainnya, seperti Ancol. Ketika ditanya alasannya, “soalnya masuk Ancol kan mesti bayar lagi, trus belom bayar parkir segala macem, trus kalo mau makannya juga agak ribet, gitu deh, males aja kalo daerah Ancol, udah gitu disanakan macetnya juga lebih parah lagi”, dari perkataan Kevin tersebut, dapat kita lihat bahwa ia merasa untuk masuk ke Ancol memerlukan biaya yang tidak sedikit dan ia merasa kurang sepadan dengan apa yang ia terima ketika pergi kesana. Walaupun seperti yang kita tahu, bila dibandingkan tempat-tempat makan yang sedang terkenal saat ini, Ancol lebih menawarkan banyak hal untuk dapat dilakukan, namun Kevin tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah keunggulan yang di miliki Taman Impian Jaya Ancol, “nggg….ngga juga sih..mungkin karna udah seneng aja kalo ngobrol-ngobrol di kafe atau gimana.” Bagi anak muda seperti Kevin, yang dicari hanyalah tempat untuk berbincang-bincang, tidak perlu melakukan banyak aktivitas untuk mengisi waktu luangnya agar membuat pikirannya segar kembali.

Pergi ke kafe atau mall untuk mengisi waktu luang sehari-hari. Mungkin kegiatan Kevin ini bisa dibilang sangat normal untuk ukuran anak lelaki berusia 22 tahun, namun ada yang menarik dari pernyataan Kevin ketika ditanya dimanakah tempat yang paling tidak membuatnya nyaman, “pergi-pergi ke tempat hiburan malem gitu gue ga suka sih” “soalnya gua gasuka tempat yang terlalu rame gitu”. Clubbing. Hiburan malam ini termasuk salah satu tempat yang senang dan sering dikunjungi oleh orang-orang usia muda, apalagi laki-laki. Tetapi, berbeda dengan teman-teman seusianya, ia merasa tidak nyaman ketika berada di tempat yang terlalu ramai, selain itu ia juga tidak merasakan adanya keuntungan berada disana. Kevin lebih memilih untuk berada dirumah saja bila tidak ada temannya yang bisa diajak pergi ke tempat-tempat yang menurutnya menyenangkan. Baginya, berada di rumah jauh lebih memberinya rasa senang. Banyak yang bisa dilakukan dirumah tanpa harus mengeluarkan uang dari kantong-nya sendiri, “dirumah juga enak aja sih, kalo mau tidur tinggal tidur, mau makan juga gausah keluar uang, gitu gitu deh, kebutuhannya banyak yang terpenuhi”, ditambah lagi, ketika keluar rumah, ia sering kali berhadapan dengan kemacatan yang membuat mood-nya buruk karena rumahnya memang di daerah yang penuh kemacatan, “daerah rawamangunkan macetnya parah tuh, jadi kalo emang ga ada yang bisa nemenin atau ditebengin pergi, males. Soalnya macet kan, males juga sendirian.” Kevin adalah tipe orang yang tidak masalah bila harus menghabiskan waktu luangnya di dalam rumah.

Sebenarnya, bila bisa memilih, dibanding di rumah ataupun pergi ke kafe, anak kedua dari tiga bersaudara ini lebih senang bila bisa menghabiskan waktu luangnya untuk menyalurkan hobinya. Olahraga seperti bermain basket atau futsal merupakan pilihan utamanya. “lebih milih olahraga sih, soalnya ga ngabisin duit”, selain karna uang yang dikeluarkan lebih sedikit untuk menyalurkan hobinya ini, Kevin merasa lebih banyak keuntungan yang didapatkannya dari melakukan olahraga untuk menghabiskan waktu luang yang ia miliki, “sehat, trus juga cepet ngabisin waktunya, ga kerasa”. Namun sayangnya, ia tidak bisa menghabiskan waktu luangnya selalu dengan bermain futsal, basket, ataupun softball. Memerlukan banyak orang untuk dapat melakukan aktivitas tersebut, dan mengumpulkan beberapa orang dalam satu kesempatan dalam jangka waktu yang cukup lama tidaklah mudah.  

Intinya, bagi mahasiswa satu ini, yang terpenting adalah melakukan hal yang memang disenangi dan berada di tempat yang bisa membuat nyaman sudahlah sangat cukup untuk mengisi waktu luang dan membebaskan beban pikiran. Tidak harus memaksakan ke tempat yang mayoritas orang merasa senang disana, atau tidak perlu melakukan aktivitas yang berlebihan. Ketika kita enjoy, semua akan terasa lebih menyenangkan.



Saturday 20 September 2014





NAMA           : TONY WIDJAJA
UMUR            : 45 TAHUN
STATUS         : BERKELUARGA
            DOMISILI       : JAKARTA BARAT
PEKERJAAN : WIRAUSAHA


“kalo saya punya pilihan saya lebih suka ke open public spaces ya. Karena disana kita gausah keluar duit. Kita bisa tetep santai dengan keluarga, kita bisa nikmati kebersamaan dengan keluarga. Tapi sekarang kita ga punya pilihan ya pasti mall lagi mall lagi”





       


       Setiap orang pasti menjalani aktivitas sehari-hari. Aktivitas yang dilakukan bisa berupa sebuah kewajiban, seperti bekerja dan belajar, ataupun berupa hak seperti menonton TV, berbelanja, memasak, berolah-raga, dan lain sebagainya. Keduanya perlu keseimbangan. Disaat kewajiban dilakukan, maka perlu diselingi dengan kegiatan-kegiatan yang menghibur diri pada saat waktu-waktu luang yang dimiliki. Tujuannya adalah agar seseorang tidak merasakan beban yang berlebihan pada pikirannya, tidak perduli dimana ia tinggal, apa status sosialnya, single ataupun berkeluarga. Namun, terkadang memang cara mereka menghabiskan waktu luang yang berbeda-beda.

Tony Wijaya misalnya, ia seorang kepala keluarga yang tinggal di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Ia mengaku bahwa waktu luang penting baginya, “penting dong, iyalah, untuk refreshing sama kebersamaan sama keluarga”, menghabiskan waktu bersama keluarga merupakan salah satu caranya untuk menghabiskan waktu luang. Namun, bila ada waktu luang yang lebih panjang, seperti weekend, dibanding hanya berkumpul dengan keluarga di rumah, ia lebih memilih untuk mengajak keluarganya berjalan-jalan. Tempat yang sering dikunjunginya bersama keluarga saat weekend adalah mall, walaupun dirinya sendiri merasa tidak ada yang dicarinya ketika di mall, “NOTHING!” “terpaksa karena family man”.

Bila mendengar dari ceritanya, lelaki berumur 45 tahun ini bersama istri dan anak-anaknya hampir setiap minggu mengunjungi mall yang berbeda di kawasan Jakarta Barat, Pusat, ataupun Selatan. Sebenarnya ia sendiri kurang memahami mengapa mengunjungi mall yang berbeda-beda setiap minggunya, “ you better ask my wife” “dia shopping kita ngopi”. Baginya, yang penting adalah kebersamaan bersama keluarga, jarak jauh dan jalanan macat bukanlah penghalang baginya “kalo ga macet bukan Jakarta namanya”. Dalam kunjungannya ke mall, ia bersama keluarga bisa menghabiskan waktu minimal empat jam, “sampe duitnya abis” “ya minimum 4 jam”.

Sejujurnya, mall bukanlah tempat favorit baginya untuk meluangkan waktu. Walaupun ia seorang wirausaha di bidang saham, yang tidak keberatan mengeluarkan uangnya untuk dapat memenuhi waktu luang bersama keluarga, seperti ke mall, namun sama halnya seperti kebanyakan orang, ia prefer untuk tidak terlalu banyak mengeluarkan uang bila memungkinkan. Oleh sebab itu, iya lebih senang bila bisa menghabiskan waktu luang di open-public spaces, “kalo saya punya pilihan saya lebih suka ke open public spaces ya. Karena disana kita gausah keluar duit. Kita bisa tetep santai dengan keluarga, kita bisa nikmati kebersamaan dengan keluarga. Tapi sekarang kita ga punya pilihan, ya pasti mall lagi mall lagi”. Sebagai seseorang yang pernah berdomisili di luar negri, ia mengharapkan Indonesia, khususnya Jakarta, dimana ia tinggal, bisa lebih mengoptimalkan open-public spaces yang ada, misalnya seperti taman atau pantai. “Di Australi atau di Singapur taman can be just lapangan ijo tapi orang tetep betah aja duduk-duduk”, yang terpenting baginya taman ataupun open-public spaces lainnya tidaklah perlu terlalu banyak isi, yang terpenting adalah kebersihan, kerapihan, kenyamanan, juga keamanan. Yang selama ini membuatnya tidak nyaman untuk datang ke taman adalah aksesnya yang ia rasa kurang memadahi dan masalah kebersihan yang masih sangat kurang di perhatikan, “tempat parkir blm ada”, “setiap ada tempat wisata pasti ada warung supermie” “sampahnya”.

Hal-hal seperti ini sangat disayangkan, padahal orang-orang seperti Tony Wijaya ini sangat mengharapkan open-public spaces yang dibuat oleh pemerintah ini bisa lebih dijaga kebersihannya. Ia merasa, dengan adanya taman, pantai, atau ruang terbuka lainnya yang tertata rapi dan memberikan kenyamanan, dapat membuat kita, orang-orang Indonesia khususnya Jakarta, bisa  berinteraksi secara sosial “penduduk Indonesia tidak berinteraksi secara sosial” “secara alamiah mereka terbagi antara the have and the have not.” “sekarang kan kebanyakan yang punya selalu ke mall, yang ga punya selalu di bantaran kali di taman-taman, tapi kalo public area itu udah dibuka, dibikin kenyamanannya, keindahannya, kebersihannya, kerapiannya, pasti dengan sendirinya gep itu akan berkurang”.


Mungkin hal ini bisa menjadi catatan bagi pemerintah untuk mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat Indonesia. Selama ini, perkiraan kita bahwa kalangan ‘the have’ tidak mau datang ke open-public area karena tidak mau bergaul atau bersosialisasi ternyata tidak sepenuhnya benar, Tony Wijaya bisa menjadi salah satu bukti nyatanya,” saya  ga pernah ada permasalahan dengan gep itu”. 









#JAKARTAREPOSEPROJECT

aims at creating and meeting the peak point of the demand of jakartan’s leisure seeker and rebuilding Jakarta's leisure industries.
we,

@yorenno
@mariogultomm
@ririrafelia
@philareta
@beatriectjahya
@monwidjaja
@almasnizarb

will furtherly post our journey in discovering jakartans leisure time
as the modern man in an urban life.

Will be posting on:
Http://philareta.blogspot.com
Http://yrwidjaja.blogspot.com
Http://monwidjaja.blogspot.com
Http://beatriectjahya.blogspot.com
Http://martompandapotan.blogspot.com
Http://ririraf.blogspot.com/


 
© 2012. Design by Main-Blogger - Blogger Template and Blogging Stuff